Muhamad Abi Fadila, lahir di Tangerang 23 Juni 2000. Tinggal di Jakarta Pusat. Alumnus pendidikan sejarah FKIP Uhamka. Keseharian bekerja sebagai guru sejarah di SMA PGRI 1 Jakarta. Sedang melanjutkan studi S2 di Pendidikan IPS Pascasarjana Undiksha. Aktif dalam kegiatan Karang Taruna di wilayah tempat tinggal, terutama fokus terhadap budaya literasi yang menyediakan buku-buku bacaan di wilayah Bungur dan pengurus majelis di Ngaji Kontemporer. Pembaca dapat berinteraksi dengan pemuisi melalui Instagram: abi_fadila.

Dari Reformasi ke Barbarisme Baru, Negativitas Total di Indonesia

6 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Profiting from Ruin
Iklan

Filsuf Adorno menyebut manusia moderen gagal menjadi manusiawi sejati, malahan tenggelam dalam barbarisme baru

***

Mungkinkah potret Indonesia hari ini menggambarkan betapa bobroknya kehidupan manusia modern, seperti dalam kritik Adorno? Manusia Indonesia seolah membenarkan kritik tersebut. Filsuf Jerman abad 20 itu memang tidak mencantumkan manusia Indonesia sebagai percontohan dalam kritiknya. Tentu kritik itu ditujukan bukan kepada manusia Indonesia saja, melainkan kepada manusia modern secara universal. Tetapi kita harus jujur kalau kritik itu menjelaskan apa yang sedang terjadi pada Indonesia akhir-akhir ini. Adorno menyebutnya dengan istilah Negativitas Total.

Adorno bersama Horkheimer pada bukunya berjudul Dialectic of Enlightement memulai dengan pertanyaan kritis, tetapi di baliknya terdapat kisah tragis tentang mahkluk bernama manusia. "Mengapa umat manusia bukannya memasuki kondisi manusiawi yang sejati, malahan tenggelam dalam barbarisme baru?" Pertanyaan sederhana yang sebenarnya mudah kita mengerti, tetapi cukup dalam menyentuh nurani kita. Memang tidak perlu dijawab sekarang, namun perlu direnungkan dan ditindaklanjuti terutama oleh para pejabat Indonesia yang mengaku bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya.

Satu kata mengapa kritik Adorno terasa sangat relevan dengan kondisi Indonesia hari ini, yaitu keserakahan. Pada tahun 2024 lalu pemimpin tertinggi Indonesia menyatakan, "Enggak usah takut apa itu katanya membahayakan, deforestation, namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan?" Pernyataan yang sangat keliru dari satu orang, tetapi mewakili sebagian besar masyarakat Indonesia. Karena tanggung jawabnya sebagai orang nomor satu di Indonesia yang dipilih mayoritas penduduknya.

Adorno tidak mengatakan manusia telah berubah menjadi entitas baru atau spesies lain. Adorno hanya menyayangkan bahwa manusia menjadi makhluk yang rakus dengan teknologinya. Kemajuan teknologi membuat manusia secara brutal mengeruk sumber daya alam. Tanah air sebagai ibu pertiwi yang memiliki keragaman alam hayati kini dilecehkan oleh anak kandungnya sendiri. Gaya hidup manusia modern yang ditopang dengan industrialisasi telah memudarkan arti kemanusiaan.

Perluasan sektor perkebunan kelapa sawit yang melahap hutan-hutan di Indonesia menjadi bukti keserakahan manusia modern. Manusia modern menganggap persoalan sosial bagian terpisah dengan alam semesta. Adorno sebaliknya menyatakan "Runtuhnya manusia dan kemanusiaan". Kehancuran manusia justru datang dari rusaknya alam di sekitarnya. Kemajuan peradaban manusia yang dibangga-banggakan itu sebenarnya lahir dari cahaya yang menyesatkan. Cahaya dari api yang membakar manusia itu sendiri. Pengrusakan alam menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial. Masyarakat desa yang hidup berdampingan dengan alam terdampak akibat pengrusakan alam, sedangkan korporasi hidup nyaman di perkotaan. Perkembangan sosial juga bagian dari lingkungan alamnya dan perilaku manusia modern cenderung merusaknya.

Belum lagi program hilirisasi industri pertambangan nikel di Indonesia yang digaungkan pemerintah. Seolah memperjelas fenomena yang dikritik Adorno terhadap perilaku manusia modern. Pertambangan nikel sebagai dalih untuk mendukung energi terbarukan malah melukai kelestarian alam yang justru sulit diperbaiki. Tagar #SaveRajaAmpat sempat viral. Memberikan gambaran kekhawatiran terdalam bagi sebagian masyarakat Indonesia. Untuk apa semua itu dilakukan. Kenyataannya semua itu dilakukan untuk memberikan kemewahan bagi sebagian orang yang bernaung di ketiak korporasi. Kerusakan alam yang kian nyata tidak sebanding dengan kemudahan yang diberikan industrialisasi. Modernitas brutal tidak sungguh-sungguh memperbaiki kualitas hidup manusia. Semua itu dilakukan demi memuaskan ambisi manusia yang mengatasnamakan pembangunan.

Seringkali projek untuk mengeksploitasi sumber daya alam itu bahkan melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Atas nama pembangunan pemerintah memberikan izin kepada korporasi untuk merampas hak hidup masyarakat adat yang telah merawat lingkungannya secara turun-temurun. Runtuhnya manusia dan kemanusiaan bukan sekadar pernyataan biasa, tetapi kenyataan kelam yang harus kita terima. Pemerintah telah gagal menjaga kelestarian alamnya beserta ekosistem mahkluk hidup di dalamnya. Sebaliknya pemerintah malah melindungi para korporasi yang terang-terangan mengambil sumber daya alam tanpa memperhatikan mahkluk hidup sekitar. Kerusakan alam di Papua, Kalimantan, Sumatera dan daerah Indonesia lainnya merupakan bukti nyata kebobrokan moral yang sedang dipoles dengan janji-janji kemajuan zaman.

Apa yang hendak dicapai dari visi Indonesia Emas 2045? Barangkali lebih terdengar sebagai doktrin yang menyesatkan. Cita-cita menjadi negara maju dan berdaulat seharusnya sejalan beriringan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Masyarakat mempunyai andil dalam melestarikan lingkungannya. Reformasi yang dikobarkan sejak akhir tahun 1998, belum mampu mereformasi jalan pikiran dan nurani manusia Indonesia tentang kelestarian alam. Sejak reformasi, tragedi kemanusiaan yang disebabkan karena sifat rakusnya manusia makin sering terjadi. Pembunuhan Salim Kancil pada 26 September 2015, seolah tidak cukup untuk menjadi pelajaran yang nyata. Kata "cukup" tidak memiliki arti apa-apa dihadapan ambisi terbesar manusia yang katanya "modern".

Sebagian orang yang peduli terhadap kelestarian lingkungan malah dianggap pengganggu bagi pembangunan. Organisasi keagamaan bahkan tunduk terhadap manisnya kekuasaan. Ikut membenarkan upaya-upaya yang berpotensi merusak lingkungan. Salah satunya menyebut orang-orang yang peduli terhadap kelestarian lingkungan dengan sebutan "Wahabi". Seakan modernitas memiliki alergi terhadap hubungan harmonis antara manusia dan alam sebagai kesatuan organik. Lalu bagaimanakah pemerintah akan mendidik bangsanya? Apabila masih menganggap orang-orang yang hidup dengan kearifan lokal dan menjaga kelestarian alamnya, sebagai hama yang harus disingkirkan. 

Kurikulum Merdeka dan Pembelajaran Mendalam bukankah itu kemunafikan yang terus diglorifikasikan. Program pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam harus berjalan sesuai cita-cita pendidikan nasional, yaitu menjadi manusia sejati. Sebaliknya pemerintah malahan tidak ada habis-habisnya menyangkal kenyataan itu. Ketika sebagian masyarakat mulai menyadari Indonesia memasuki barbarisme baru dengan sebutan "#Indonesiagelap". Kritik dibalas dengan sikap anti demokrasi. Anak-anak sekolah dituntut kritis dan berakhlak mulia, tetapi pemerintah tidak henti-hentinya mengglorifikasikan ketamakan yang dianggap sebagai suatu keharusan.

Dalam dunia pendidikan, anak-anak diajarkan untuk terampil secara kontekstual. Semua mata pelajaran dan bidang tertentu harus tampak dibutuhkan di masa kini. Akibatnya pendidikan dianggap berhasil apabila mampu mengajarkan keterampilan praktis. Membunuh lebih cepat imajinasi anak-anak yang sedang tumbuh dan menjauhkan generasi muda cara berpikir abstrak. Jauh sebaliknya pemerintah menegaskan bahwa kerusakan alam sebagai realitas sosial yang tidak dapat dihindarkan. Apa yang dianggap kontekstual sangat bertentangan dengan yang narasikan pemerintah sebagai realitas yang tidak dapat dihindarkan. Adorno dalam kritiknya menyarankan agar manusia menghentikan sifat tamaknya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Muhamad Abi Fadila

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler